Sabtu, 11 November 2017

Gerobak Bakso Transformer

Gerobak Bakso Transformer

Namanya Pak Tino (60 Tahun). Sore (20/6/2018) ini saya melihatnya menggelandang sepeda gerobak roda tiganya memasuki pelataran parkir Terminal Mendolo. Saya pikir itu hanya semacam kotak bakulan yang ditaruh pada atas sepeda seperti pada biasanya pedagang keliling.

Perkiraan saya ternyata meleset. Perlahan dia membuka satu persatu perabot lapaknya, kemudian bim salabim dalam waktu sekitar seperempat jam lapak bakso yang cukup ideal komplit bareng payung lebar, meja dan kursi telah tergelar pada hadapan saya. Tak dapat tak, saya wajib menyebut ini MOGE (motor gerobak -- pen) sudah mirip banget bareng robot tranformer.

Jujur saya terperangah. Saya tak dapat membiarkan momen ajib ini lewat begitu saja. Maka sambil menggoyang lidah menikmati bakso kuahnya, saya sedikit menukil riwayat hidupnya.

Pak Tino bapak bakul bakso kita ini berasal menurut Solo. Ia menikahi ibu Salimah perempuan Wonosobo dan dikaruniai empat anak yang sekarang sudah sama berkeluarga. Mereka tinggal pada dusun Losari arah timur pertigaan Kalierang Wonosobo.

Sudah hampir empat puluh tahun lamanya Pak Tino berdagang bakso. Ia pernah berjualan pada area pasar Kertek Wonosobo selama sekitar dua puluh lima tahun. Seiring kuliner merambah pada desa-desa, dia kemudian berjualan bakso keliling bareng sepeda motor. Malang baginya suatu waktu roda belakangnya meledak, motor terjatuh dan kecelakaan itu membuatnya terluka parah.

Life must go on. Hidup wajib terus berjalan. Bagi pak Tino yang sepanjang hidupnya mengulik bakso, tentu tak ada pilihan lain selain berdagang bakso. Maka sebuah motor modifikasi bareng dua roda pada depan laiknya becakpun kemudian dia ciptaan untuk menopang kedua kakinya yang sudah tak lagi kuat seperti dulu.

Hari-hari senja waktu arus balik penumpang ini dia masih mangkal pada terminal Mendolo. Esok pagi sampai siangnya dia tak terang benar akan mangkal pada mana. Seperti halnya para pedagang keliling yang mencari huma membuka lapak berdasar naluri, Pak Tino dan ibu Salimah mempercayai satu hal sebagai keyakinannya orang berharap Tuhan akan memberikan rejeki. Ono dino ono upo, ora ubet ora ngliwet.

Malam-malam yang mungkin akan lewat biasa bagi orang lainnya. Malam-malam itu adalah malam-malam dua insan Tino dan Salimah mengeja rasa syukur, waktu sebuah motor beroda tiga berkiprah perlahan mengantar tuannya pulang ke tempat tinggal, dan ibu Salimah setengah terkantuk duduk pada atas perabotan lapak disilir angin sepanjang jalan yang dilewatinya.

Gusblero, 20 Juni 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar