Senin, 06 November 2017

Cerpen Bakso Mas Joko

Cerpen  Bakso Mas Joko
Cerpen  Bakso Mas Joko

MEMUTUSKAN berprofesi sebagai tukang bakso bukanlah hal praktis bagi Joko dan Rukmi. Saban hari mereka menjalani bisnis ini bersama kembang kempis, sehari laba dan sehari rugi.

Warung bakso yang mereka buka di depan tempat tinggal, tak poly dikunjungi orang. Sebelumnya, mereka pernah berdagang keliling bersama mendorong gerobak. Namun cara ini melelahkan. Selepas hari raya, mereka memutuskan membuka lapak di tempat tinggal sendiri.

Sengsaranya, seorang tak dikenal pula membuka warung bakso yang hanya beberapa meter dari warung bakso Joko dan Rukmi. Mereka lebih laris dan cepat populer.

Dik, jangan-jangan bakso sebelah pakai penglaris ya?

Maksud Mas?

Ya mereka pergi ke gunung yang dikeramatkan, melakukan ritual bejat pesugihan, memelihara jin, dan rela menumbalkan keluarganya agar dagangan laris elok.

Husssh, Mas ngomong opo tho?

Lho bisa jadi, Dik.

Ah, untuk apa kita repot urusan orang lain. Masalah kita sendiri saja sudah terlalu poly lho, Mas.

Lagian, beliau buka warung bakso ndak bilang-bilang dulu. Matanya buta apa, padahal timbul kita di sini, Joko memasukkan saus sachet ke botol, Kalau warungnya di kampung sebelah ya monggo. Atau kalau permanen di dekat sini, mbok yo jangan bakso, kan bisa soto atau yang lain.

Sudah-sudah. Itu timbul yang beli, Mas. Aku cuci gelas dulu ya.

BEBERAPA bulan berikutnya, mereka berdua memutuskan pindah. Tempat yang usang sudah sangat menjemukan. Bukan hanya sepi dari pengunjung, tapi bau kali di belakang rumahnya amat menyengat hidung.

Di daerah baru, mereka merasa relatif nyaman. Letaknya pula strategis, dekat bersama keramaian pasar kota. Pengunjung permanen pun mulai mereka hafal. Sesekali para pengunjung permanen itu mengajak rekan-rekannya. Bahkan andai saja malam minggu tiba, warung bakso Mas Joko tak mampu menampung pelanggan. Pasangan belia-mudi membanjiri. Terpaksa, beberapa orang rela menunggu di luar atau memesannya bersama dibungkus.

Kira-kira, apa ya Mas yang membentuk kita ramai mirip ini?

Entah ya Dik, mungkin sudah takdir Tuhan, kita disuruh bisnis dulu.

Kalau berdasarkan aku, Mas, timbul pihak lain yang membantu kita.

Siapa?

Salah satunya Susi, Mas!

Susi siapa?

Itu loh, perempuan aneh yang pernah bikin ribut di warung kita.

Bukannya sehabis peristiwa itu uang kita dalam laci ludes?

Iya betul, Mas. Tapi kan dari situ hati kita terbuka.

Joko memejamkan matanya. Napasnya berembus lebih kencang. Mengeluarkan suaranya tak mirip biasanya. Seakan bukan hanya udara yang beliau keluarkan. Ada sepotong cerita yang entah diketahui istrinya atau tidak.

SUSI perempuan semampai. Sejak mungil tak punya cita-cita yang muluk-muluk. Kalau pun sudah dewasa nanti beliau hanya ingin sebagai seorang pembersih lantai atau bekerja di pabrik mirip teman-teman kampungnya.

Orangtuanya melarang beliau berkerja sebagai pembersih lantai. Juga sebagai pegawai pabrik yang dievaluasi terlalu kasar. Bapaknya ingin beliau sebagai guru di sekolah anak-anak.

Aku tidak kuliah, Pak. Mana mungkin bisa sebagai guru?

Kenapa dulu anda tidak kuliah saja!

Bapak kan yang menyuruh Susi segera menikah?

Kapan Bapak menyuruhmu menikah?

Itu pas dulu aku dekat bersama tukang bakso yang dagangannya laris elok.

Joko itu?

Iya

Ke mana beliau sekarang?

Entah.

Diam-membisu sehabis dialog itu, Susi mencari tahu eksistensi Joko. Susi sangat mengasihi Joko begitu pula sebaliknya. Namun sayang, Joko menghilang tiba-tiba ketika bapak Susi memintanya segera menikah. Joko masih ingin mengembara berbagi bisnis gerobak baksonya.

Kabar eksistensi Joko akhirnya diketahui Susi. Joko masih berjualan bakso bersama nama yang masih sama, Bakso Mas Joko. Ia tidak lagi berkeliling bersama mendorong gerobaknya. Melainkan membuka lapak di daerah di mana beliau tinggal.

Tapi Susi tidak tahu apakah Joko sudah berkeluarga atau belum. Ia tak mendapatkan keterangan terkait itu. Tanpa memikir panjang, esoknya beliau memutuskan menemui Joko, di warungnya.

Susi?!

Mas Joko?!

Keduanya sama-sama terkejut. Jeda beberapa detik yang relatif menegangkan. Matanya sama-sama menyapu paras lawannya. Lamat-lamat bersama teliti. Semakin dalam, semakin poly memori yang terputar pergi. Susi dipersilakan duduk. Pandangannya masih kosong. Joko tampak belum sadar benar.

Tiba-tiba Rukmi datang membawa beberapa plastik berisi belanjaan. Ia naik ojek dari pasar menuju rumahnya.

Mbaknya minum apa? sapa Rukmi buru-buru, tangannya masih menenteng belanjaan. Es teh, teh hangat atau es teh hangat? kelakarnya.

Es teh saja, jawabnya datar.

Sebentar ya, saya akan buatkan.

Joko sibuk menyiapkan bakso untuk beberapa mangkuk. Para pengunjung mulai ramai berdatangan. Malam minggu yang hangat meski hati berdebar kencang.

Baksonya, Sus. Semoga anda masih suka baksoku.

Itu tadi siapanya Mas Joko?

Nanti aku ceritakan, silakan dinikmati dulu.

Bakso racikan Joko disantapnya bersama perlahan. Ada yang mengganjal baginya. Hingga satu bulatan bakso pun belum sempurna digigit. Berbeda bersama pengunjung lain sedang asyik menyantapnya.

Mbak, ini es tehnya, Rukmi menyuguhkannya bersama senyum sopan.

Susi mengamati Rukmi, menatap senyumnya tanpa membalas. Belum berekspresi. Wajahnya datar mirip bakso bundar yang belum beliau telan.

Tidaaaakkkk.

Susi menjerit histeris. Semua orang panik. Makanan yang mereka rasakan ditinggal begitu saja. Orang-orang di luar sana masuk memadati warung bakso Mas Joko. Polisi patroli yang kebetulan lewat pun berhenti. Susi diamankan. Identitasnya tidak diketahui secara terang.

Satu jam kemudian keadaan pergi normal. Namun apesnya, Joko dan Rukmi yang ditimpa musibah. Uang seharian hasil jual bakso ludes. Laci daerah menyimpan uang dibobol dan dibawa kabur sang seorang entah siapa. Mereka lupa menguncinya waktu keadaan ramai satu jam yang lalu.

Tak apa lah, Mas. Mungkin ini teguran dari Yang Di Atas, agar kita jangan lupa bersedekah ya Mas. Dan, meski ekonomi kembang kempis, kita harus lebih poly bersyukur ya Mas diberi akal dan jiwa yang sehat, tidak mirip perempuan tadi.

Joko tersedak. Kaku. Diam. Tanpa bunyi. []

Dimuat pertama kali di sini. 

Atunk Oman, Penulis lahir di Rembang 1990. Berdomisili dan berkarier di Jakarta. Suka membaca, menulis, menggambar, dan traveling. Twitter dan Instagram@Atunk_Oman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar