Oleh: Zaki Mubarak
Bakso atau orang sunda menyebutnya baso merupakan masakan favorit orang Indonesia terutama yg berjenis kelamin wanita. Entah apa yg muncul dalam pikiran wanita mengenai nikmatnya bakso. Mungkin mereka lebih mengarah makan bakso ketimbang menyuapi suaminya. Mereka sepertinya akan stress kalau nir merasakan bakso kesukaannya. Namun, dalam hal per-bakso-an, saya terus terperinci nir mengerti paripurna tentangnya, saya hanya mengerti bahwa bakso merupakan masakan favorit istri saya dan saya pun wajib mencicipinya maksimal tiap tiga hari sekali.
Hal yg menarik mengenai bakso di kota saya, Tasikmalaya, merupakan pengembangan bakso yg terus inovatif. Mulai racikan bakso yg tidak sama dengan yg lainnya termasuk penamaan bakso yg spektakuler. Sebenarnya bakso di daerah saya itu bukanlah barang baru, muncul pertempuran sengit antara tukang baso Solo dan Malang yg mangkal di pinggiran kota tasik dengan bakso indigenous (orisinil) Tasik. Untuk urusan rasa, saya lebih memihak kepada bakso Tasik, tapi untuk urusan dompet, sepertinya Solo dan Malang merupakan pilihannya.
Ternyata, bakso Tasik yg populer yummy itu, sedang mengalami peperangan di negerinya sendiri. Peperangan itu ditandai dengan inovasi yg kadang bisa dikatakan cerdas, ataupun bisa jadi gila. Apa saja inovasinya, saya akan mencoba mengungkapkannya disini. Analisis saya sangat sederhana (lantaran ketidak mampuan memahami bakso menjadi ilmu) yakni melihat fenomena sosial yg hadir di depan mata dan mengaitkankannya kepada mayapada saya, mayapada pendidikan.
Pertama, peperangan nama. Inilah yg menjadi kehebohan publik Tasik atas nama baso yg fenomenal. Bagi saya ini perlu diteliti membuktikan-membuktikan sosialnya. Sejak dua tahun lalu saya mulai diperkenalkan dengan istilah bakso rudal. Nah, tahun ini saya mendapatkan nama bakso yg lebih variatif, dari nama yg bernada sentimen negatif hingga nama yg kocak. Contohnya, bakso syetan, bakso crot bakso janda, bakso neraka jahanam bakso comberan dan nama lainnya yg out of the box.
Dulu nama bakso sangat mainstream. Nama merupakan doa menjadi slogan para pendahulu tukang bakso untuk memulai karirnya dalam mayapada perbaksoan. Nama itu macam bakso priangan, bakso loma, bakso sari rasa, bakso siliwangi dan seterusnya. Nah, hari ini nama baso terdistorsi sang anak alay yg menyerukan pandangan baru kegilaan untuk berkarya. Nama-nama yg ditanamkan dalam produknya merupakan nama alay (super lebay). Mereka mencoba menanamkan keunikan bahasa dalam baksonya. Apa dampaknya?
Ternyata, penamaan bakso Tasik itu berdampak kepada kepenasaran para pemburu bakso. Dulu bakso rudal diburu untuk dicicipi. Sekarang baso syetan atau baso birahi yg dikejar. Mereka laku manis tanpa butuh iklan di tivi. Saya melihat muncul kecenderungan para konsumen bakso untuk beralih dari yg namanya sopan kepada nama yg slengean.
Satu sisi ingin memahami rasa syetan atau bakso astagfirulloh di lisan, di sisi lain muncul rasa unik untuk mencicipinya. Menurut saya itu inovasi paling hebat yg saya temukan dalam mayapada perbaksoan. Dampak penamaan gaya alay itu menghasilkan para pesaing bakso mainstream memutar otak untuk mengalahkannya.
Kedua peperangan bentuk. Para pelaku nama bakso mainstream berinovasi dengan cara yg lebih elegant. Mereka nir meninggalakan nama menjadi doa, namun mereka berinovasi dari bentuk dan warna. Dalam inovasinya kita akan mengenal bakso beranak di mana ketika dimakan bakso itu beranak pinak, muncul pula bakso Hitam di mana warna baksonya nir lagi putih gading namun hitam legam. Di samping itu muncul baso mercon yg bentuknya mirif petasan, muncul pula bakso kurma dimana kurma disisipkan di tengahnya atau baso telor 1/2 mateng dimana di dalamnya muncul telor yg muncrat. Ada banyak lagi inovasi orang Tasik mengenai bakso ini.
Dengan inovasi bentuk, ternyata konsumen pula suka. Bisa jadi pandangan baru bentuk ini didapatkan dalam film Ketika Cinta Bertasbih yg mempromosikan baso cinta (bakso berbentuk hati). Inovasi ini sangat out of the box di mana mereka meninggalkan bakso bulat yg biasa dan beralih kepada bakso berbentuk aneh, walaupun yg bulat masih dipertahankan.
Para pemburu bakso Tasik pun segera untuk survei dan selalu mencari memahami dimana bakso itu berada. Para pecinta bakso mencari memahami ke tetangganya atau browsing internet. Melalui dari pemasaran ala tradisional dari lisan ke lisan hingga pemasaran ala medsos itulah bertemunya kerongkongan pecandu bakso dengan bakso yg berbentuk aneh itu.
Ada satu pengalaman menarik saya ketika berbicara mengenai bentuk bakso ini. Istri saya, sang pemabok bakso yg menularkan kepada saya, selalu meminta untuk diantar membeli bakso yg unik. Saat itu sedang heboh dengan bakso hitam ala Bakso pa Haji. Dengan sigap ala suami siaga, saya rela meng-gas pool tunggangan beroda empat untuk mencari di mana bakso itu berada. Bersama dengan istri dan dua bocah kami temukan nir jauh dari sentra olah raga Dadaha. Apa yg terjadi, sang pemilik bakso pak Haji kaget atas kedatangan saya. Lalu dengan mencium tangan saya, Ia mengajak saya untuk mencicipinya jamuannya.
Karena dikala itu zuhur tiba dan waktunya shalat para pelayan, maka para konsumen disuruh menunggu atau nir jadi pesan. Bagi yg menunggu, dikasih reward satu botol teh sosro. Tentu saja saya mau menunggu dan menengguk sosro. Rugi dong udah cape-cape nganter istri tapi gak jadi. Dalam percakapan menunggu itu, sang pemilik mendekati saya dan menceritakan riwayat pendidikannya. Ternyata ia merupakan salah satu murid kesayangan dulu, yg jadi juara berbagai kontes debat bahasa Inggris di lokal juga nasional.
Setelah menceritakan mengenai rasa terima kasih dan nostalgia ketika belajar dulu, ia sebutkan cerita mengenai nano-nanonya belajar di ITB tempat ia ngampus. Dengan semangat yg tinggi, ia mantaf untuk berwirausaha. Lulusan ITB yg saya kenal ingin kerja di tempat yg basah dan bereputasi transnasional, ingin berwirausaha dengan berdagang baso hitam. Kan aneh! Lulusan ITB kok dagang bakso? Saya menjadi orang dekatnya dahulu ketika belajar, merasa bangga lantaran banyak alasan yg bisa saya kemukakan. Bakso hitam akibat inovasinya begitu cantik dan sangat anti mainstream. Hebat tenan tuh anak.
Nah tiba saatnya saya membahas nilai pendidikan yg bisa diambil dari riwayat tadi. Bagi saya inovasi pendidikan melalui perang bakso orang Tasik (mungkin pula mirip di Bandung dan daerah lainnya) mempunyai nilai pendidikan yg terhingga. Pertama inovasi out of the box yg didemonstrasikan sang para tukang bakso harus ditiru sang para guru dalam interaksi belajarnya. Ketika guru merasa berada kepada comfort zone (zona nyaman), maka guru nir akan berinovasia lagi, atau inovasinya kurang greget. Dampaknya anak akan bosan dan gampang menduga inovasi yg akan dilakukan sang gurunya.
Semakin guru berinovasi gila anti mainstream di depan anak-anaknya, maka semakin tertarik anak-anak untuk melihat inovasinya. Ini akan menghasilkan suasana kelas jadi bersemangat dan penuh dengan membuktikan tanya. Bukankah salah satu kehebatan guru merupakan memantik pertanyaan siswanya? Inovasi ala tukang bakso, baik dari sisi nama ataupun bentuk merupakan salah satu inovasi yg mempermainkan aspek psikologis konsumen.
Setiap konsumen bakso sempurna ingin sesuatu yg baru. Nama yg aneh atau bentuk yg unik bisa jadi menghasilkan psikologis konsumen ingin segera melahapnyaa. Begitu pun dengan peserta didik kita. Siswa yg telah bosan di sekolah, sempurna mempunyai tingkat kebosanan yg tinggi menjadi akibatnya membutuhkan sentuhan psikologis dari gurunya. Inovasi anti anti mainstream inilah solusinya.
Menggunakan sentimen psikologis melalui model pembelajaran yg variatif atau media pembelajaran yg unik merupakan salah satu inovasi psikologis yg bisa diterapkan kepada peserta didik. Sebelum memakai model pembelajaran atau media yg anti mainstream usahakan guru untuk melakukan analisis kebutuhan peserta didik, menjadi akibatnya sentimen psikologis peserta didik dapat diciptakan. Guru harus membangun sentimen psikologis positif untuk menyemangati peserta didik dengan inovasinya. Ini membutuhkan pikiran inovatif dari guru yg telah mengenal siswanya. Silahkan Anda bayangkan sendiri bagaimana caranya.
Kedua inovasi tiada henti untuk terus didatangi sang konsumen bakso merupakan seni manajemen mereka untuk terus bertahan. Mereka sadar bahwa inovasi nama dan bentuk dari bakso akan cepat membosankan apabila nir diikuti sang kualitas rasa yg memikat. Telah banyak bakso yg nyeleneh itu bangkrut setelah fenomenal di usia dua bulannya. Nah, inilah yg nir boleh terjadi. Konsumen sempurna akan terus membelinya manakala rasa puas atas produk yg dinikmatinya. Mereka bukan menikmati nama atau bentuk, tapi menikmati dzat bakso yg masuk di lidahnya.
Guru yg berinovasi tiada henti jangan meninggalkan kualitas belajarnya. Bila demi inovasi namun kualitas belajarnya diabaikan, maka dilema tukang bakso yg fenomenal dan bangkrut atas kefenomenalannya akan menimpa guru macam itu. Guru yg inovatif merupakan memikirkan dua sisi yg seperti mata uang ini; inovasi antimainstream dan menjaga kualitas belajarnya.
Bila mereka bisa menjaga keduanya secara seimbang, saya yakin guru hebat itu akan selalu dinanti kehadirannya dan disedihkan ketiadaannya. Mereka nir akan bersorak ketika gurunya nir muncul seperti yg biasa kita temukan dalam ruang kelas kita. Para murid akan menunggu dan bertanya, inovasi apalagi yg akan Pak guru lakukan ya? Ga tabah nih!
***
Dinding kelas yg kaku membujur bagi mereka merupakan penjara.
Para guru yg mengajarkan bagi mereka bak sipir penjaga.
Meja-meja yg penuh coretan merupakan curhatan mereka.
Kursi yg patah kakinya pun merupakan protesan mereka.
Ini bukan lantaran sekolah yg nir menggembirakan.
Ini bukan lantaran ruang kelas yg tidak membahagiakan.
Ini hanya sekedar kebosanan atas ritual pedagogi.
Ini lantaran inovasi guru yg tidak kadung terbarukan.
Selamat berinovasi guruku, lihatlah tukang bakso favoritmu itu!
Gegerkalong Girang, 30/lima/17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar