Percakapan delapan belas tahun yang lalu:
Aku : Pak, aku lulus UMPTN, ketrima di UGM
Bapak: Ohyo wis ati-ati wae tanpa menampakkan rasa senang yang hiperbola.
Dan beberapa hari semenjak itu aku artinya mahasiswa UGM Jogja, beruntung ketika itu semua masih murah sehingga kuliah bisa hingga selesai.
Masuk akal ketika itu, sebab asa Bapak tidak terlalu hiperbola. Bapak memang berharap anaknya bisa kuliah untuk mengganti nasib. Dari ratusan pedagang bakso asal Solo dan Wonogiri di Purwokerto ketika itu, mungkin Bapak yang pertama berhasil membangun anaknya kuliah, saudara tertua saya yang kuliah di Unsoed. Dan kemudian saya menyusul akan kuliah, namun di UGM, Jogja. Saya tahu yang membebani bapak bukan hanya sebab akan berpisah kawasan tinggal sebab saya wajib indekos, tapi terlebih sebab wajib selalu menyiapkan uang bulanan untuk bayar kost, makan dan keperluan kuliah lain. Berbeda bersama jika tetap kuliah di Purwokerto, hanya perlu uang kuliah sebesar 250.000 per semester, mungkin tak terlalu berat bagi pedagang bakso kecil misalnya Bapak.
Bapakku memang perantauan, formasi pedagang bakso keliling yang mencari penghidupan di Purwokerto. Masih jangan lupa ketika kecil hayati di kamar bidakan terbuat berdasarkan gedheg (anyaman bambu). Setiap pagi ramai terdengar bunyi pukulan besi ke papan telenan untuk menghancurkan daging agar menjadi adonan bakso. Dua puluh lima tahun yang lalu belum muncul gilingan bakso, jadi tidak semua orang bisa membangun bakso. Untuk membangun bakso dibutuhkan tenaga ekstra sebab wajib menghancurkan daging secara manual bersama ditumbuk dengan lempengan besi yang diadu bersama telenan kayu akbar. Bahkan mungkin berdasarkan subuh telah ramai, sebab sebagian istri pedagang bakso artinya penjual jamu gendong yang wajib menumbuk empon-empon semenjak dini hari.
Kekerasan simbolik menjadi anak penjual bakso juga sering sekali terasakan dan memang sangat menyakitkan. Cemoohan anak bakul bakso kawan-kawan bermain kadang sangat pedas. Apalagi ketika itu rumah bidakan kami dilingkupi tembok dengan tinggi 2,5 meter yang di dalamnya memang hanya berisi khusus bakul bakso. Kapanpun dan dimanapun orang miskin memang sering menjadi pihak yang terlemah. Dan malah sering kali menjadi ladang eksploitasi. Saya masih jangan lupa, kompleks bidakan ratusan kamar tersebut dimiliki sang seseorang HAJI yang juga membuka warung kelontong di depan pintu masuk. Hampir semua kebutuhan sehari-hari famili juga bakso (contohnya mie, bumbu, tepung dll) seolah wajib belanja di kawasan itu juga. Jadi sirkulasi uang para penjual bakso juga sebagian akbar masuk ke pemilik kontrakan bersama banyak sekali macam cara. Sebuah kapitalisme yang dulu tak pernah kami sadari.
Dan sebab itulah saya bertekad sekolah. Dan berdasarkan tangan pedagang bakso keliling serta penjual jamu gendong itu terlahir 3 orang sarjana. Salah satunya ketika ini sedang sekolah S3. Dan jika kini ke Purwokerto, maka penjual bakso tak lagi identik bersama kaum marginal misalnya halnya 25 tahun yang lalu. Sebagian akbar telah menjadi penduduk asli Purwokerto, memiliki rumah sendiri dan bukan lagi kaum kontraktor nomaden. Anak-anak mereka juga banyak yang kemudian sekolah tinggi dan berprofesi bukan lagi pedagang bakso turunan. Kalaupun muncul yang menjadi pedagang bakso maka mereka menjadi pedangan bakso yang cukup akbar.
Tetapi kadang muncul yang membangun miris, ketika berkunjung ke kawasan kami tinggal 25 tahun yang lalu keadaannya sebagian tak banyak berubah. Dan jika Knda ingin tahu resep membangun bakso yang enak, silahkan hubungi saya. Karena bapak saya jualan bakso semenjak tahun 1970 dan saya terlatih membantunya semenjak kelas satu SD. Atau tiba saja ke kawasan bapak saya jualan, Bakso Satria, dekat RSU Margono Soekarjo, Purwokerto.
*) Gambar di atas artinya rabat gosip di Radar Bayumas beberapa bulan yang lalu tentang bapakku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar